Sepintas kita kadang lupa mendudukkan akal dan spiritual dengan tepat. Sebagian orang memandang hidup cukup dengan akal. Itu benar, kalau tujuannya sebatas umat terdahulu, bisa bangun rumah, bangun kota, selesai. Akan tetapi kalau mau hidup yang berarti, maka kita butuh terhadap spiritualitas.
Spiritualitas menjadikan akal tidak saja tajam, tapi mengerti batas kemampuannya dengan baik.
Saya sangat terinspirasi saat berbincang dengan Ust. Iwan Abdullah ketika mengulas ayat ke-103 Surah At-Taubah.
Ia menerangkan dalam ayat itu siapa berzakat, maka baginya kebersihan harta dan kesucian jiwa. Plus, akan mendapat ketenangan dari orang-orang yang mendoakan.
Dalam kata yang lain, akal bisa menangkap siapa berzakat, keuntungannya lebih besar daripada zakat yang dibayarkan.
Kalkulasi Akal
Tapi saya menyodorkan satu pertanyaan. Zakat memang 2,5%. Akan tetapi bagi mereka yang memiliki kekayaan Rp. 1 triliun saja, zakatnya akan terasa besar. Mungkin dalam kalkulasi akal inilah orang menjadi ragu membayar zakat.
Saya menduga Ust. Iwan yang Ketua Umum Korps Muballigh Hidayatullah itu akan memberikan argumen rasional. Ternyata ia jawab dengan level berpikir spiritual yang Allah ajarkan dalam Alquran.
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali Imran: 180).
Ayat itu langsung memberikan kita penegasan, dugaan manusia secara akal, kadangkala tidak relevan. Terutama kalau bertemu dengan apa yang Allah tetapkan kepada manusia. Bakhil, tampak menguntungkan. Tetapi apakah demikian?
Untung Hakiki
Lebih jauh ayat ini menegaskan bahwa sikap bakhil atau kikir bukanlah keuntungan, melainkan keburukan bagi diri sendiri.
Orang beriman seharusnya menyadari bahwa harta hanyalah titipan dari Allah, bukan sesuatu yang mutlak orang miliki.
Keengganan berbagi justru akan menjadi beban di akhirat, sebagaimana harta yang disimpan dengan tamak akan berubah menjadi belenggu yang menjerat.
Sikap mental yang harus jadi milik orang mukmin adalah kerelaan berbagi dan kedermawanan, karena sejatinya rezeki yang diberikan Allah adalah amanah untuk kita jadikan kebaikan, bukan jadi timbunan yang menipu diri sendiri. Merasa untung padahal rugi.
Selain itu, ayat ini juga mengingatkan bahwa Allah adalah pemilik segala sesuatu di langit dan bumi, dan manusia hanyalah pengelola sementara.
Berpikir spiritual dengan basis akal akan menguatkan sikap mental positif. Misalnya, sikap percaya penuh pada ketentuan Allah. Ini akan menjadi karakter seorang mukmin, bahwa berbagi tidak akan mengurangi harta, tetapi justru mendatangkan keberkahan.
Jika ada orang demi harta lalu mencuri, korupsi, menipu dan menzalimi orang lain. Apakah dia mendapat keuntungan?
Dari pandangan akal pun orang akan melihat itu tidak menguntungkan. Lebih-lebih dalam tinjauan spiritual. Justru orang itu sedang menumpuk keburukannya sendiri.
Oleh karena itu, rawat spiritualitas (iman) kita dengan baik. Jaga hingga melahirkan sikap berani berkorban dan peduli terhadap sesama. Itulah bentuk nyata dari iman yang kuat, serta investasi yang akan membawa keberuntungan di dunia maupun akhirat.
Pada level inilah kita penting muhasabah bahwa kita harus mendudukkan akal untuk aktif bergerak dalam bimbingan spiritual (Alquran dan Hadits).*