Sejak awal, AI telah menyedot perhatian publik. Tema paling populer yang pertama akan segera AI geser adalah penulis. Tetapi mungkinkah itu akan benar-benar terjadi?
Pekerjaan yang membutuhkan pikiran 5 detik ke bawah (pekerjaan monoton) dan berulang-ulang akan segera tergantikan oleh Robot AI atau kecerdasan buatan.
Belakangan mulai muncul berita bahwa dengan AI mahasiswa akhir tidak perlu ribet menulis skripsi.
Baca Juga: Memaslahatkan Teknologi AI
Seorang pimpinan perusahaan telekomunikasi bertutur kepadaku bahwa ada banyak anak magang ia minta membuat presentasi. Hasilnya bagus-bagus. Dan, ternyata mereka menggunakan AI.
Sekalipun tentu saja, hasil akhir kerja AI (sejauh ini) masih tetap butuh pemeriksaan dari manusia. Sebab AI masih rentan terhadap bias.
AI dan Manusia
AI sebagai teknologi pada dasarnya hanya alat. Namun, ketika manusia merelakan dirinya tidak lebih unggul daripada alat, ketergantungan akan alat boleh jadi akan sangat tinggi.
Oleh karena itu, manusia harus semakin meningkatkan kemampuan berpikirnya dengan baik. Melatih cara menuangkan perasaan dengan lebih baik lagi, bahkan jauh lebih bagus dari AI.
AI mungkin bisa dengan mudah menyusun kalimat yang indah nan puitis. Tetapi ingat, itu adalah hal yang bukan lahir dari ekspresi jiwa.
Dalam kata yang lain, kalau penulis tidak mau tergeser oleh AI, maka mulailah melatih diri menulis apa yang tidak tersedia dalam data internet. Menulislah dari hati dan benar-benar ekspresi jiwa. Tetapi apakah masih ada ruang untuk itu?
Kalau melihat cara kerja AI dalam hal menulis, maka AI hanya akan menampilkan tulisan hasil kompilasi dari kerja mesin yang mengolah data dari dunia maya.
Menurut seseorang yang coba menggunakan AI untuk menulis, hasilnya memang bagus tapi untuk kelas pemula.
Dan, jika Anda ingin menulis artikel yang bagus, menarik dan natural, tak bisa hanya mengandalkan AI. Anda tetap harus berpikir, mengedit lagi hasilnya, tidak bisa copy and paste dari AI begitu saja.
Konsekuensi
Akan tetapi kalau mau kita renungkan lagi, hadirnya AI sebenarnya lebih merupakan konsekuensi akan gelombang kognisi yang selama ini mendominasi peradaban dunia.
Baca Lagi: Teknologi dan Ibadah
Bisa kita katakan, AI dalam hal menulis, boleh jadi merupakan puncak dari era rasionalisme yang digagas oleh Rene Descartes.
Dan, ketika manusia setiap saat memakan bacaan dari AI, pada akhirnya manusia akan sadar, bahwa ternyata begitu saja cara kerja rasio.
Bahkan, mungkin ke depan, setiap ada tulisan yang bagus, orang akan meragukan manusia dan meyakini AI. Namun dalam tempo tertentu, manusia akan jenuh sendiri dengan AI itu.
Begitu saat-saat itu telah tiba waktunya, mungkin manusia akan kembali kepada Alquran, sebuah panduan yang menjadikan manusia akan kembali sadar akan fitrah, satu hal yang lama ditenggelamkan oleh kesibukan manusia bermain-main dengan teknologi.*