Afan dan Takim merupakan pemuda yang selalu hadir dalam program kebaikan. Keduanya tidak saja sejalan, tapi sevisi dan sepermainan. “Kami sebagai Muslim dan pembaca Alquran, menyadari begitu banyak karunia Allah SWT dalam hidup ini. Lalu mengapa kami tidak bersama, bersyukur dan menghadirkan kebaikan,” katanya dalam satu kesempatan.
“Kami akan terus dalam kebaikan, meski waktu berganti bulan, bahkan tahun dan musim,” kata Afan yang disambut tawa Takim. Menurut Takim, Afan memang periang, sehingga tak ada waktu kecuali terus ingin lebih maju.
Teman-teman dan masyarakat Cilengkrang, Bandung, memang mengenal keduanya sering bersama. Terutama kalau ada kegiatan yang memberikan kebaikan pada banyak orang. Mulai dari bakti sosial, mengiringi pengajian, hingga mengumpulkan anak-anak muda dalam peningkatan mutu diri dan kemajuan secara kolektif.
Takim yang Tak Lazim
Takim, yang bernama lengkap Mustakim, memang sosok yang tak biasa, tak lazim. Sosoknya yang murah senyum semakin unik dengan kemampuannya berkata-kata yang mengundang imajinasi dan tawa.
Bukan saja anak muda yang sebaya dengannya yang kerap terkocok perutnya. Orang tua pun seringkali dibuatnya terpingkal-pingkal kalau sudah tiba masa Takim bercerita.
“Hidup manusia ini sudah banyak beban dan persoalan. Apalagi yang katanya era digital, semakin orang melihat ke alam maya, semakin pusing kepalanya. Sayang memang, coba mereka buka lembaran Alquran, bukan hanya kepalanya reda dari tekanan, hatinya pun akan berubah tenang. Tapi begitulah manusia, suka masalah daripada solusi. Buktinya ada saja itu anak muda mau mati karena minuman oplosan daripada duduk dan dizkir bersamaan,” katanya yang membuat orang disekitarnya manggut-manggut kompak.
“Bayangkan saja, jalan kebaikan dan nikmat Allah bentangkan. Eh…, ada terus anak muda yang memilih jalan keburukan dan merugikan. Manusia. Manusia. Itulah manusia kalau jarang kena sinar kehidupan,” ujarnya lagi.
Takim memang jarang membawakan ayat-ayat Alquran laksana khotib Jumat berkhutbah. Tapi setiap Takim berkata, orang akan dibuat bertanya, ayat mana yang Takim tadabburi kali ini.
Sampai Mati
Pernah suatu waktu, Afan dan Takim menembus hujan lebat disertai petir membawa beberapa kardus mie instan. Ajun, senior mereka berdua berteriak dari kejauhan. “Bade kamana?”
Afan menimpali, “Banjir bosque di lembah. Kami hendak bawa mie instan ke sana.” Meski berteriak sekuat tenaga, suara Afan tak begitu jelas dalam pendengaran Ajun. Karena suara butiran hujan yang tak berhenti memukul atap seng mushola tempat Ajun berteduh jauh lebih intens.
Beberapa jam kemudian, Afan dan Takim kembali ke mushola. “Waduh, hujan-hujan kirim bantuan. Apa tidak bagus tunggu reda,” Ajun menyapa keduanya yang baru turun dari motor.
“Menunda kebaikan itu tidak baik, bosque,” Afan memberikan jawaban sembari mengibaskan jas hujan yang mulai usang.
“Kalau Jumat itu kan kita dapat peringatan, bertakwalah kepada Allah sampai mati,” Takim tak mau ketinggalan menjelaskan.
Ajun tersenyum melihat semangat Afan dan Takim. “Kalian ini memang penegak kebaikan, mau musim panas, apalagi musim hujan. Panas tak meleleh, hujan tak membeku. Apa sih yang kalian inginkan,” Ajun mulai menggali minat Afan dan Takim untuk diskusi.
“Bosque pernah bilang, setan itu tiap hari kerja mengajak manusia pada keburukan. Kalau begitu why not, bosque, kalau saya dan Takim terus berjuang menegakkan kebaikan. Toh kebaikan kami ini, tidak ada apa-apanya,” Afan berkata bak sedang tausiyah. Tidak lama, Hendra datang dengan membawa teh manis panas, lengkap dengan singkong goreng yang lezat disantap.
“Baru di dunia saja kita dibalas kebaikan seperti ini oleh Allah. Semoga kita kelak mendapat balasan terbaik dari Allah,” Ajun membesarkan jiwa kedua juniornya yang lucu tapi lincah dalam kebaikan itu. Semuanya pun kompak berdoa, “Allahumma barik lana fima rozaktana“.*