Saat itu (16/1/24) mentari masih hangat. Dan, selepas menggerak-gerakkan kaki dan tangan, saya menyimak kajian tentang manusia. Sang pembawa narasi Dr Fahrudin Faiz. Dari kajian itu saya menangkap bahwa adil itu memang harus hadir sejak dalam hati.
Semua pasti akan bertanya, mengapa seperti itu? Baiklah, kita akan urai perlahan-lahan.
Manusia itu memiliki ego, nafsu dan juga hati. Dalam Islam, hati itu adalah raja.
Ibarat seorang yang mengendarai motor, mobil, atau perahu, hati itu adalah sang pengendali.
Jika Islam mendorong kita mensucikan hati, artinya kita harus berupaya bagaimana hati sebagai pengendali tetap fokus, awas dan tidak lalai.
Dalam aspek fisik, kita bisa mudah memahami itu, bahwa sang pengemudi jangan sampai lelah apalagi tertidur di perjalanan. Resikonya sangat besar.
Baca Juga: Adil Kian Nihil?
Begitu pun hati, saat kita mendengar agar selalu kita jaga, berarti kita jangan sampai bertindak yang hati kita tidak menyukai, apalagi tidak menyadari.
Makna Lanjutan
Hati yang terjaga, sehat dan hidup dengan sebaik-baiknya, akan mengerti kemana jalan terbaik menuju kebahagiaan.
Hati juga akan mudah memahami petunjuk yang ada, sehingga walau harus menembus jalan berkabut tebal, ia tidak akan tersesat. Ia memahami petunjuk dengan penuh keyakinan.
Pada akhirnya, seseorang yang punya hati sehat akan mudah untuk segera bersikap, tertuama saat menjumpai kondisi jalan yang tak lagi normal dan membutuhkan gerak reflek.
Adil dalam Diri
Lalu bagaimana adil dalam diri tercipta? Yakni saat hati sebagai pengendali sadar mana yang harus difungsikan secara proporsional dalam situasi dan kondisi yang tak pasti dalam mengarungi samudera kehidupan ini.
Soal ego, sebagian orang memandang ego ini buruk. Tidak salah, kalau ego kita gunakan secara berlebihan. Ego itu tetap perlu agar manusia mau membela diri dalam kebenaran.
Hanya saja apakah hati dalam diri seseorang sehat, sehingga tahu seberapa besar perlu menekan “tombol” ego. Jika berlebihan, jelas itu akan merusak, diri dan orang lain.
Demikian pun hawa nafsu. Hawa nafsu akan baik kalau hati mampu memberikan ruang yang tepat, proporsional. Kalau bertemu masalah, beda pendapat, hawa nafsu manusia akan mengemuka, mungkin menghasilkan marah dan benci.
Akan tetapi sejauh hati sehat, maka ia akan mampu memberi ruang secara proporsional bagi hawa nafsu, sehingga tidak melampaui batas.
Nah, saat orang berbicara tentang keadilan, sebenarnya mereka harus fokus ke masalah mendasar ini, yakni hati.
Ketika Nabi Muhammad SAW dilempari batu oleh kaum Thaif, beliau SAW tidak membalas. Nabi mengedepankan keadilan dari dalam hati. Bahwa sikap mereka demikian itu bukan karena mereka benci Islam, memusuhi Nabi SAW, tetapi lebih karena tidak tahu.
Baca Lagi: Jadilah Produsen Gagasan!
Kisah itu sebenarnya bisa kita jadikan uswah dalam hal bagaimana kita adil dalam hidup ini. Tidak memaksakan kehendak, tidak merasa paling berhak menghukum orang yang lemah dan tidak tahu. Masya Allah.*