Home Kisah 4 Fase Hidup Kolega Menerima Takdir
4 Fase Hidup Kolega Menerima Takdir

4 Fase Hidup Kolega Menerima Takdir

by Imam Nawawi

Sembari mengantar anak ke sekolah, saya sengaja pasang niat ingin silaturrahim dengan kolega senior. Alhamdulillah beliau berkenan dan kami berbincang akrab dan lama. Sampai tibalah bahasan tentang 4 fase beliau dalam menerima takdir.

Takdir ialah ketetapan Allah atas kehidupan ini, baik alam semesta, maupun individu, yakni kita sendiri sebagai manusia.

Dan, takdir itu bisa menyenangkan manusia. Sebaliknya, bisa juga tidak menyenangkan bahkan terasa seakan begitu kejam.

Tetapi kalau kita sadar sebagai Muslim, maka semua telah Allah tetapkan. Dan, sikap terbaik kita hanyalah dua, yakni sabar dan syukur.

Baca Juga: Hidup Penuh Gairah

Namun sebagai manusia yang penuh keterbatasan, tidak otomatis, iman, ilmu dan pemahaman dapat langsung full power dalam menyikapi keadaan. Inilah manusia yang Allah nyatakan lemah (dhoif).

Fase Pertama

Fase pertama yang ada dalam diri beliau adalah menolak.

Jadi kala itu beliau menerima vonis dokter akan penyakit dalam tubuhnya. Menyadari hal itu, terlebih kala harus banyak sabar beristirahat, sementara beliau orang yang sangat aktif, kondisi itu membuat hati dan pikirannya bertanya.

Mengapa Allah berikan ujian ini. Mengapa Allah tidak segera memberi kesembuhan. Dan, mengapa-mengapa lainnya.

“Saya benar-benar menolak kondisi saya kala itu,” ucapnya dengan tersenyum sebagai tanda bahwa beliau sadar betapa lucunya kala itu.

Fase Kedua

Fase kedua ialah sabar. Perlahan seiring berjalannya waktu beliau mulai sadar, kemudian bersabar.

Proses ini juga sangat menguras energi beliau lahir dan batin. Satu sisi sabar terus diupayakan, sisi lain beliau harus terus berhadapan dengan kondisi fisik yang belum kunjung membaik.

“Harus sabar, ini adalah kehendak Allah. Tidak mngkin Allah menghendaki ujian ini sedangkan tanpa maksud baik apapun kepada saya,” tutur beliau, semangat.

Fase Ketiga

Fase ketiga beliau adalah ikhlas.

Seiring waktu terus bergulir, banyaknya teman datang menjenguk, memberi nasihat dan semangat. Beliau semakin kokoh mental dan spiritualnya.

Beliau pun berusaha ikhlas. Ikhlas ini kata Gus Baha sadar dan yakin semua datang dari Allah. Walau diri harus mengambil pelajaran dari sisi hikmah berupa kelemahan sebagai manusia yang salah dan lupa.

Fase Keempat

Fase keempat ialah syukur. Pada akhirnya Allah buka tabir dalam hati beliau, hingga sekarang beliau bersyukur dengan takdir yang awalnya ditolaknya itu.

“Sekarang saya bersyukur. Ternyata sangat mungkin Allah ingin saya lebur dosa-dosa, Allah ingin saya mendapat ampunan-Nya. Ya Allah, saya bersyukur kepada-Mu atas semua ini,” ungkap beliau yakin.

Terciptanya Takdir

Ibn Qayyim Al-Jauziyah dalam kitab “Qadha dan Qadar” mengutip hadits Rasulullah dari Amr bin Ash.

Ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda.

‘Allah telah menentukan takdir bagi semua makhluk lima puluh tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.’

Rasulullah SAW menambahkan, ‘….dan ‘Arsy Alah itu berada di atas air.” (HR. Muslim).

Kemudian apa sikap terbaik dalam kehidupan ini?

Nasihat ‘Ubadah ibn Ash-Shamit

‘Ubadah ibn Ash-Shamit berkata kepada anaknya. “Wahai anakku, sesungguhnya kamu tidak akan merasakan nikmatnya iman hingga kamu meyakini bahwa apa yang (ditakdirkan) akan menimpamu maka tidak akan meleset darimu.

Dan apa yang (ditakdirkan) tidak mengenaimu maka tidak akan menimpamu.

Baca Lagi: Resep Jitu Kuatkan Komunikasi Suami dan Istri

Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan Allah SWT adalah qalam.

Selanjutnya Allah SWT berfirman, “Tulislah!”

Qalam menjawab, “Tuhanku, apa yang harus aku tulis.?”

Allah SWT berfirman, “Tulislah takdir (ketentuan) segala sesuatu hingga datangnya hari Kiamat.”

Wahai Anakku, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda.

“Siapa yang meninggal dunia dalam kondisi tidak memiliki keyakinan yang demikian (dalam kondisi tidak beriman pada takdir) maka ia bukan dari umatku.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Baihaqi).*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment