Malam masih sepi dan saya membaca koran digital nasional (Media Indonesia, 12/5/22). Isinya mengulas literasi. Dari 70 Negara, Indonesia berada pada posisi 62. Alias nomor 8 dari belakang. Satu bentuk literasi paling dasar ialah kemampuan membaca dan menulis. Lalu bagaimana supaya Indonesia tidak tertinggal dalam hal literasi?
Posisi ke 8 dari belakang Indonesia itu berdasar survei PISA (Programe Internasional for Student Assessment) 2019.
Sementara itu UNESCO mencatat bahwa minat baca orang Indonesia berada pada posisi 0,0001. Itu berarti dari 1000 orang hanya ada 1 orang yang minat membaca.
Kemudian kalau bicara koleksi buku. Indonesia baru memiliki 28.512.198 eskemplar buku (berdasar penelitian Perpusnas 2021).
Baca Lagi: Menulis itu Memulai
Padahal menurut IFLA (International Federation of Library) idealnya kebutuhan buku dinilai cukup kalau jumlah eksemplar buku 2 kali lebih besar dari jumlah penduduk.
Katakanlah penduduk Indonesia 250 juta. Maka buku yang harus ada di Indonesia idealnya 500 juta eksemplar.
Bagaimana memenuhi kebutuhan buku hingga 500 juta eksemplar itu? Satu jawabannya, menurut Duta Baca Indonesia, Gol A Gong adalah memperbanyak sumber daya penulis.
Alasan Pertama
Menulis adalah kerja intelektual. Semakin banyak orang bisa menulis, secara intelektual semakin bagus. Terlebih kalau merujuk makna literasi pada level tertinggi, mampu menciptakan satu produk yang berdaya saing.
Tidak berlebihan kalau ada ungkapan, puncak kecerdasan manusia secara intelektual ada pada kemampuannya menulis.
Alasan Kedua
Menulis jadikan orang sadar akan kebutuhan dirinya untuk membaca. Ketika seseorang ingin menulis, mutlak ia harus membaca.
Jadi, mendorong orang sekedar membaca, itu tidak menjamin orang akan merasa dirinya butuh membaca. Tetapi menciptakan banyak penulis, itu berarti sama dengan melahirkan manusia yang gemar membaca.
Alasan Ketiga
Menulis adalah kerja-kerja peradaban. Dalam ungkapan Yunani itu ada namanya “Verba volan scripta manent.” Yang artinya, ucapan itu hilang, tulisan itu abadi. Lihat saja soal hukum di media sosial, sebagian besar karena ada jejak terangnya, yaitu tulisan.
Selain itu secara fakta, bangsa yang unggul secara sains dan teknologi adalah bangsa yang gemar membaca, riset kemudian mengembangkan hasil risetnya dalam tulisan untuk melahirkan satu temuan baru teknologi.
Warisan Penulis Islam
Lebih jauh saat kita merenung sejenak, mengapa ajaran Islam sampai ke Indonesia, kemudian masyarakat di Jawa akrab dengan kitab gundul atau kitab kuning. Itu semua adalah karena adanya generasi yang mau menulis.
Baca Juga: Indonesia Gagal Literasi?
Seperti Imam Ghazali, Imam Bukhari, Imam Syafi’i, Ibn Athaillah, Ibn Sina, Ibn Rush, Ibn Qayyim Al-Jauziyah, Ibn Taymiyah dan lain sebagainya.
Jadi melalui karya para penulis Allah jaga warisan peradaban Islam ini sampai ke masa kita saat ini. Artinya, siapa ikut menulis, ke depan ia ikut memelihara warisan besar para ulama dunia yang amat mencerahkan itu.*